Selasa, 28 Agustus 2007

APLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI DITEMPAT KERJA

Rumah sakit sebagai industri jasa dalam memberikan pelayanan terhadap pasien dan keluarga untuk mencapai tingkat pelayanan yang optimal guna memenuhi harapan pelayanan bagi pelanggan yaitu pasien dan keluarga. Dalam memberikan pelayanan yang tersebut diperlukan adanya dukungan berbagai pihak yang meliputi beberapa aspek diantaranya :

  1. Sumber daya manusia

Sumber daya manusia merupakan sumber daya yang paling utama dalam suatu instansi untuk menunjang terhadap pencapaian tujuan dari pihak perusahaan dan masyarakat sebagai pelanggan yang menjadi sasarannya.

Peningkatan pengetahuan dan pemanfaatan sumber daya manusia dapat memberikan sumbangan

  1. Keuangan

  2. Manajemen

  3. Pemanfaatan teknologi

  4. Sarana dan prasarana

  5. Dukungan masyarakat


Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang pelayanan kesehatan memperbesar perhatian mereka terhadap industri jasa pelayanan kesehatan. Bersamaan dengan hal itu, kalangan industri memandang jasa pelayanan kesehatan sebagai peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Persaingan dalam industri jasa pelayanan kesehatan pun meningkat.


Kepuasan pelanggan merupakan kunci sukses memenangkan persaingan. Hal ini tentu saja tidak mudah bagi pengelola rumah sakit, mengingat pelayanan yang diberikan juga menyangkut hidup para pasien/pelanggannya. Bila terjadi ketidaksesuaian atau kesalahan dalam melaksanakan tindakan medis maka dampaknya tidak main-main, sakit yang bertambah parah, cacat tetap atau bahkan sampai pada kematian. Kepuasan pelanggan tidak hanya ditentukan oleh tindakan medis, ada banyak dimensi mutu lain yang mempengaruhi kepuasan pelanggan seperti: layanan administratif, keramahan dan ketanggapan para staf medis dan non medis, kemudahan, kecepatan & ketepatan waktu layanan, dll. Banyaknya dimensi mutu rumah sakit yang perlu diperhatikan sehingga penanganannya harus dilakukan dengan serius, cermat dan tepat.


Mutu layanan merupakan faktor penting yang dapat membentuk kepercayaan pelanggan/pasien kepada rumah sakit sehingga tercipta loyalitas mereka. Saat ini masyarakat Indonesia kurang percaya terhadap mutu layanan rumah-rumah sakit di Indonesia. Mereka yang berpenghasilan menengah keatas lebih memilih menjalankan perawatan/pengobatan diluar negeri ketimbang disini.


Mengapa harus luar negeri? Kelengkapan peralatan kedokteran, kompetensi dan kecepat-tanggapan staf medis maupun non medis, kontinuitas pelayanan, sistem pelayanan yang bagus, dan jaminan mutu yang diberikan merupakan alasan kuat mengapa masyarakat kita lebih percaya kredibilitas rumah sakit di luar negeri dan menjadikannya pilihan.

Kurangnya kegiatan public relations yang memberikan informasi mengenai keunggulan rumah sakit di sini ikut mendorong pasien untuk berobat ke luar negeri. Namun faktor penyebab yang lebih signifikan adalah masih banyak rumah sakit yang belum consumer oriented , belum memberikan kemudahan akses pelayanan bagi para pasiennya dan mutu pelayanan yang masih buruk (dokter yang sering datang terlambat, pasien harus menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan dan perawatan, kurang responsifnya para staf medis dan non medis terhadap kebutuhan pasien, dll).


Rumah sakit kita perlu menerapkan sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Untuk itu rumah sakit di Indonesia harus menciptakan kinerja yang unggul. Kinerja yang unggul atau Performance Excellence merupakan salah satu faktor utama yang harus diupayakan oleh setiap organisasi untuk memenangkan persaingan global, begitu juga oleh perusahaan penyedia jasa pelayanan kesehatan.


Banyak cara yang dapat dilakukan oleh para pengelola rumah sakit untuk menciptakan kinerja yang unggul diantaranya melalui mekanisme pengelolaan mutu dan pemberian pelayanan yang bagus serta tindakan medis yang akurat tentunya.


Untuk menghasilkan mekanisme pengelolaan mutu yang bagus, perusahaan perlu menerapkan metode pengukuran yang efektif untuk dapat menganalisis dan menemukan dimensi mutu 0 yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan untuk mencapai mutu yang tinggi. Salah satu model pengukuran yang sudah dikenal luas dan terbukti secara efektif membantu keberhasilan penerapan sistem manajemen mutu adalah sistem Malcolm Baldrige National Quality Award. Malcolm Baldrige National Quality Awards (MBNQA) merupakan sistem manajemen yang sangat efektif untuk menghasilkan loyalitas pelanggan dan kinerja tinggi bila diterapkan dengan tepat.


Kriteria penilaian/pengukuran kinerja yang dimiliki oleh MBNQA juga dapat digunakan oleh industri jasa pelayanan kesehatan, kita menyebutnya Performance Excellence for Health Care based on MBNQA. Kriteria dari Performance Excellence for Health Care based on MBNQA terdiri dari 7 kategori, yaitu: Health Care Results, Patient -and Other Customer- Focused Results, Financial and Market Results, Staff and Work System Results, Organizational Effectiveness Results, Governance and Social Responsibility Results.


Dengan penerapan sistem manajemen mutu secara menyeluruh dan model pengukuran tepat maka perusahaan anda akan menjadi perusahaan kelas dunia yang siap memenangkan persaingan. (IS)


.


Quality Assurance di Rumah Sakit


Kegiatan Quality Assurance/QA (Jaminan Mutu) di rumah sakit atau jasa pelayanan kesehatan bertujuan menyediakan perawatan dan pelayanan terbaik bagi seluruh pasien.


Untuk mereka yang memiliki kontak langsung kepada pasien, memberikan perawatan dan pelayanan yang terbaik merupakan konsep nyata tentang QA. Sementara bagi mereka yang tidak memiliki kontak langsung dengan pasien, memberikan mutu pekerjaan yang baik sehingga memberikan kontribusi kepada penciptaan mutu pelayanan dan perawatan yang baik untuk para pasien menjadi konsep mereka mengenai QA.


Quality Assurance juga menyusun mekanisme untuk menjamin bahwa tujuan penerapannya tercapai. QA akan berhasil bila dalam pelaksanaannya QA menjadi aktivitas karyawan yang dilakukan rutin setiap hari. Dan penerapannya akan lebih efektif lagi bila tujuan dari QA menjadi tujuan pribadi dari setiap karyawan.


Agar dapat mentransformasikan tujuan QA menjadi tujuan pribadi maka setiap karyawan perlu memahami secara menyeluruh mengenai konsep dasar dari Quality Assurance. Konsep QA sendiri biasanya mudah diterima dan dimengerti. Namun tidak jarang juga karyawan atau management rumah sakit salah kaprah dalam pelaksanaan QA. Hal ini dikarenakan tinjauan mengenai QA seringkali overlap dengan tinjauan aktivitas lain, diantaranya dengan Riset, Risk Management, Performance Appraisal .


Berikut kami jelaskan sedikit mengenai perbedaan QA dengan Riset, Risk Management dan Performance Appraisal:


QA dan Riset


Riset bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru, mencari bukti yang menyakinkan tentang hubungan antara satu faktor dengan faktor lain. Kesimpulan dari hasil riset tersebut berlaku pada berbagai kondisi yang sama atau sejenis, meskipun bukan merupakan kegiatan atau kondisi yang diteliti. Riset menyaratkan penggunaan teknik statistik yang tepat dan akurat.


QA mencari informasi untuk mengidentifikasi masalah dan tindakan dalam merawat dan melayani pasien pada kondisi khusus. Hasil QA tidak menyamaratakan temuan di luar kondisi yang ditinjau. Data yang digunakan harus valid, dapat dipercaya dan batas waktunya diketahui. Teknik statistik yang akurat tidak menjadi keharusan.

KONSULTASI


Pelayanan Rumah Sakit dan Akreditasi



Tanya:

Bulan lalu, saya dibawa ke rumah sakit di Jakarta Barat karena mendadak terkena serangan sakit pinggang kanan yang hebat. Anak saya membawa ke rumah sakit tersebut karena dekat dengan rumah. Saya memperoleh pelayanan di Unit Gawat Darurat yang cukup cepat, mungkin karena saya mengerang-ngerang kesakitan. Anak saya menceriterakan kemudian, sebenarnya dia terpaksa membawa saya ke rumah sakit ini karena empat tahun lalu –saat ia mendapat serangan asma dan datang ke Unit Gawat Darurat rumah sakit itu— ia baru mendapat pelayanan sekitar setengah jam kemudian, karena dokter jaga sibuk di ruangan. Untungnya serangan asmanya tidak berat.

Saya sendiri akhirnya dirawat di rumah sakit itu karena dikatakan ada batu di saluran yang menyumbat ginjal dan batu itu dapat dihancurkan menggunakan alat teropong. Setelah perawatan empat hari, saya pulang. Saya merasa seluruh pelayanan itu cukup memuaskan.

Ketika dirawat, saya ngobrol dengan perawat dan dokter jaga, diperoleh informasi bahwa rumah sakit itu enam bulan lalu telah diakreditasi. Mereka bercerita bahwa akreditasi itu menyebabkan berbagai proses kerja mengalami perbaikan, juga bertambahnya berbagai prosedur standar atau SOP. Contohnya, pelayanan di Unit Gawat Darurat di mana mereka mengukur ”response time” yaitu jumlah waktu pasien sejak di UGD sampai mendapat pelayanan medis. Gara-gara response time harus pendek maka di UGD ditempatkan dokter jaga khusus pada setiap shift kerja, sehingga memang pelayanan seperti yang saya alami menjadi cepat, beda ketika anak saya berobat empat tahun lalu.

Pertanyaan saya, apakah memang akreditasi memperbaiki proses pelayanan? Saya pikir, sikap mental petugas yang menentukan baik-buruknya pelayanan. Bila sikapnya tidak baik, tentu pelayanan mengecewakan dan sikap ini biasanya didasari atas masalah kesejahteraan, budaya rumah sakit, pengalaman kerja, dan sebagainya.. Sebenarnya apa yang dimaksud akreditasi rumah sakit?


J. Thio, Jakarta Barat



Jawab:

Pertama-tama perlu dijelaskan dulu, sesuai pertanyaan Anda yang terakhir, apa itu akreditasi rumah sakit. Akreditasi rumah sakit adalah suatu proses evaluasi terhadap suatu rumah sakit seberapa jauh rumah sakit tersebut telah memenuhi standar. Proses ini dilakukan oleh suatu badan nasional. Di Indonesia, badan itu adalah KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan lainnya).

Apa saja yang dinilai atau lebih tepat diukur di rumah sakit? Banyak cara menjelaskan hal ini, yang paling mudah adalah konsep Prof. Donabedian. Ia membagi unsur-unsur di rumah sakit dalam tiga kelompok. Pertama, struktur yang meliputi fasilitas fisik, struktur organisasi, SDM, peralatan, kebijakan, SOP (Standard Operating Procedure), program kerja, dan sebagainya. Kedua adalah proses, yakni semua kegiatan pelayanan dan operasional dari staf, unit, bagian, dan sebagainya. Dan ketiga adalah outcome (hasil) yang merupakan hasil akhir atau kemajuan yang diperoleh.

Pertanyaan Anda menyiratkan suatu hal lebih besar, yaitu apakah kinerja (performance) rumah sakit tersebut meningkat. Untuk itu perlu dijelaskan bahwa penilaian kinerja rumah sakit didasarkan atas lima faktor atau indikator. Pertama, kepuasan pasien, yakni bagaimana indikator ini dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Kedua, pelayanan medik. Jumlah indikatornya sangat banyak, antara lain indikator di bidang Gawat Darurat, Bedah, Penyakit Dalam, Anak, Radiologi, Laboratorium, dan sebagainya. Juga indikator untuk keseluruhan rumah sakit misalnya angka kematian dan angka perawatan ulang pasien.

Indikator ketiga adalah efisiensi, yakni indikator di bidang keuangan meliputi rentabilitas, likuiditas, dan profit margin. Di bidang produktivitas tempat tidur mencakup BOR (Bed Occupancy Rate), ALOS (Average Length of Stay), dan sebagainya. Keempat, kepuasan staf dan karyawan, juga merupakan indikator untuk menilai kinerja rumah sakit. Kelima, Kualitas Kesling (Kesehatan Lingkungan), terkait dengan penanganan limbah, sanitasi, pengamanan terhadap risiko keselamatan, dan lain-lain.

Kelima kelompok tersebut merupakan hal-hal yang menentukan apakah kinerja rumah sakit itu membaik atau meningkat atau sebaliknya. Melalui akreditasi, kelima kelompok unsur ini diukur apakah memenuhi standar yang berlaku atau telah ditentukan. Hasil pengukuran ini baik dalam kelompok struktur atau proses atau pun outcome akan menunjukkan rumah sakit ini sudah berkualitas atau belum. Dan bila kelima unsur ini ditangani oleh pihak manajemen rumah sakit secara komprehensif dan terintegrasi maka kualitas pelayanan akan meningkat.

Akreditasi rumah sakit di Indonesia dilakukan oleh KARS yang di masa mendatang direncanakan menjadi badan yang mandiri. Dalam akreditasi rumah sakit, rumah sakit melakukan terlebih dahulu penilaian sendiri (self assessment), dilakukan terhadap 5 bidang, yaitu administrasi manajemen, pelayanan medik, pelayanan gawat darurat, pelayanan keperawatan, dan rekam medik. Bidang-bidang ini kemudian ditambah tujuh, yakni K3 (Keselamatan Kerja, Kebakaran, Kewaspadaan bencana), pengendalian infeksi nosokomial, perinatal risiko tinggi, radiologi, laboratorium, pelayanan kamar operasi, dan pelayanan farmasi.

Sebagai surveior KARS sejak tahun 1996, saya telah berkeliling ke berbagai rumah sakit kurang lebih hampir 50 rumah sakit di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi untuk tugas survei dan bimbingan. Kesan yang saya peroleh rata-rata manajemen rumah sakit merasa tertolong dengan langkah-langkah yang harus dikerjakan rumah sakit agar berbagai unsur struktur dan proses didorong untuk memenuhi standar. Memang satu beban dalam rangka akreditasi rumah sakit adalah persiapan yang harus dilakukan terkadang memberatkan rumah sakit. Namun setelah akreditasi pertama maka untuk akreditasi kedua berikutnya tiga tahun kemudian, bila rumah sakit konsisten menjalankan sistem yang telah diperbaiki, maka sebenarnya tidak dibutuhkan lagi persiapan-persiapan yang khusus.

Jadi pelayanan atau kinerja rumah sakit tidak saja bergantung pada sikap mental staf seperti Anda perkirakan, tetapi lebih dari itu bergantung pada lima unsur yang saya sebutkan di atas. Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat bagi Anda.


Dr. Nico A. Lumenta, K.Nefro, MM

Konsultan Ginjal-Hipertensi RS Mediros

Surveior KARS (Komisi Akreditasi RS dan Sarana Kesehatan lainnya)

Menanti Layanan dari Hati


SUATU siang di awal Januari 2004, Ny Eleonora bergegas membawa suaminya yang mengeluh batuk, sesak napas, dan kaki bengkak ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Internasional Bintaro. Ia langsung saja mengiyakan ketika dokter UGD menyarankan suaminya dirawat secara intensif di ruang ICU, apalagi tekanan darahnya saat itu disebutkan 200/150.


PERAWAT meminta mereka menunggu kedatangan dokter spesialis jantung untuk mendiagnosis dan menjelaskan penyakit sang suami. Dua puluh empat jam berlalu, kecemasan dan kesabaran keduanya tidak juga terjawab. Dokter spesialis yang katanya segera tiba tidak juga muncul.


Padahal, siapa pun paham bahwa pasien di ruang Unit Perawatan Intensif (ICU) tentu membutuhkan penanganan segera. Menjelang siang setelah menunggu sehari, dokter lain yang datang memeriksa menyampaikan data-data medis yang tidak mereka pahami. Itu pun setelah Ny Eleonora meminta.


Beberapa saat setelah makan siang, dokter spesialis jantung yang diharapkan memeriksa sejak sehari sebelumnya akhirnya tiba. Akan tetapi, alangkah terkejutnya mereka karena dokter yang ditunggu-tunggu itu justru berkomentar dengan nada tinggi. Menurut pengakuan Ny Eleonora, seperti dalam surat pembaca Kompas, Minggu (2/5), ia disebut sebagai istri yang kurang perhatian, sedangkan suaminya disebut tidak bisa merawat diri.


Dokter spesialis jantung itu juga memvonis suami Ny Eleonora mengalami gagal ginjal kronis dan komplikasi jantung sehingga harus menjalani cuci darah sepanjang hidup.


Kesimpulan itu berbeda setelah suaminya ditangani dokter ahli ginjal di rumah sakit lain. Diagnosisnya, suaminya memang gagal ginjal kronis, tetapi tanpa komplikasi jantung.


Sayang, surat pembaca itu tidak ditanggapi pihak rumah sakit. Hingga tulisan ini diturunkan, Rumah Sakit Internasional Bintaro (RSIB) juga tidak bersedia memberikan penjelasan. Kompas yang datang ke RSIB, Senin (11/10), memperoleh jawaban bahwa pihak manajemen sedang rapat internal. Surat tertulis dan surat elektronik untuk wawancara juga tidak dibalas. Sebelumnya, ada jawaban melalui telepon dari sekretaris direktur bahwa pihak manajemen rumah sakitlah yang akan menghubungi Kompas, meskipun kenyataannya sampai Rabu kemarin tetap tak ada kabar.


Padahal, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) dr Adib Abdullah Yahya MARS sudah mengingatkan, rumah sakit jangan diam saja atau defensif ketika dimintai verifikasi. "Berikan informasi yang jelas, apa yang terjadi," kata Adib dalam Seminar Nasional VI Persi pekan lalu.


Kisah seputar ketidakpuasan dan perlakuan yang dianggap pasien mengecewakan barangkali akan berderet panjang apabila diungkapkan satu per satu. Padahal, secuil senyuman cukup menenteramkan pasien atau keluarga pasien. Memang banyak juga kisah heroik dan menyejukkan dari rumah sakit.


Kisah sedih lain diungkapkan H Misbach Yusa Biran, ayah almarhumah Sukma Ayu. Pada sebuah tayangan infotainment, ia mengaku sedih karena tak pernah menerima senyum dari para dokter selama hampir enam bulan anaknya dirawat di rumah sakit.


Belum lagi kisah Jeny, warga Rawa Bunga, Jakarta, yang menceritakan betapa ibunya kalut ketika mengetahui kondisi ayahnya kritis di sebuah rumah sakit negeri di kawasan Jakarta Timur. Namun, upaya meminjam telepon rumah sakit untuk mengabari keluarga ditolak oleh perawat sekalipun ia berjanji akan mengganti biaya telepon. "Selain itu, sejak kritis hingga meninggal tak satu pun dokter datang memeriksa," tulis Jeny dalam surat pembaca Kompas.


KISAH rumah sakit yang cenderung kabur jati dirinya dan berubah menjadi industri kesehatan sebenarnya bukan cerita baru. Seperti umumnya di jagat bisnis profit, uang masih menjadi tolak ukur layanan yang akan diterima.


Budaya paternalistik di rumah sakit Indonesia yang membuat hubungan dokter dan pasien tidak setara diakui Adib beberapa waktu lalu. Ia berpendapat budaya seperti itu harus dikikis menjadi budaya partnership. Pasien harus dilihat sebagai mitra. "Itu kalau kita mau menyongsong liberalisasi perdagangan jasa kesehatan," kata Ketua Tim Liberalisasi Jasa Kesehatan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) tersebut.


Pendapat senada disampaikan Direktur Rumah Sakit Mitra Internasional dr Rudy Cahyadi Susilo dalam Seminar Nasional VI Persi. Rumah sakit harus menangkap nilai-nilai yang diharapkan pasien dengan meningkatkan kualitas pelayanan, bukan pada harga. "Kemewahan lobi rumah sakit barangkali bukan harapan pasien, tetapi senyum dari dalam hati kita," katanya.


Kepedulian, itulah kata kunci yang akan membuat pasien rela menjadi pelanggan setia dan tidak "lari" ke luar negeri.


Soal banyaknya pasien Indonesia yang "lari" ke luar negeri, Menteri Kesehatan Achmad Sujudi pernah mengungkapkan, total pengeluaran untuk biaya berobat ke luar negeri setiap tahun mencapai 600 juta dollar AS.


Menurut Sujudi, akar persoalannya adalah pelayanan rumah sakit Indonesia yang tidak demokratis. Paradigma pelayanan kesehatan masih berorientasi pada dokter, bukan pasien. Bahkan, rumah sakit cenderung otoriter.


Pasien tak pernah dijelaskan tentang detail penyakit yang dideritanya serta jenis dan khasiat obat yang diminumnya. Sebagian besar dokter hanya memberi obat dan meminta, kalau tidak sembuh harap kembali berkonsultasi dengannya. Tren di negara lain, hampir semua keluhan pasien didengar secara saksama. Tidak jarang satu pasien ditangani dokter lebih dari satu jam.


Soal rasio jumlah dokter dan pasien ini, ditengarai konsultan manajemen rumah sakit dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Prof dr Amal C Sjaaf, sebagai kunci persoalan budaya rumah sakit yang cenderung paternalistik.


Menurut dia, pertumbuhan dokter di Indonesia tidak sebanding dengan pertumbuhan pasien. Satu dokter berbanding sekitar 6.300 pasien. Akibatnya, satu dokter spesialis bisa praktik di tiga rumah sakit sekaligus, bahkan lebih. "Selama dokter masih merasa dibutuhkan pasien seperti sekarang, selama itu pula budaya paternalistik terus tumbuh," kata dosen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI itu.


Kondisi tersebut masih ditambah kenyataan bahwa rumah-rumah sakit terus berpacu dengan waktu untuk secepat mungkin mengembalikan modal, di antaranya dengan cara menarik para dokter yang "punya" pasien tetap. Tidak heran apabila rumah sakit kemudian lebih berorientasi pada dokter daripada pasien.


REGULASI pemerintah diyakini dapat membantu tumbuhnya budaya partnership, di antaranya menyusun undang-undang yang mengatur keuntungan rumah sakit dengan tujuan tidak mengejar "setoran", dengan memperlakukan pasien seperti komoditas. Atau, memperbolehkan dokter asing masuk ke Indonesia dengan ketentuan hanya boleh praktik di rumah sakit pendidikan. Tujuannya, menularkan keahliannya kepada dokter-dokter muda.


"Ironisnya, kita belum pernah berpikir serius berapa sebenarnya kebutuhan tenaga dokter umum, perawat, dokter spesialis dan subspesialis yang sesungguhnya," papar Amal.


Artinya, selama suplai tenaga medis masih langka dan harapan masyarakat masih tinggi, maka posisi tawar pasien cenderung lemah. Dan, kisah pahit Ny Eleonora, Jeny, dan Misbach mungkin masih akan terdengar, entah sampai kapan. (GESIT ARIYANTO)

QA dan Risk Management


Risk Management adalah sebuah proses mengidentifikasi resiko yang mungkin diterima pasien untuk kemudian mengurangi atau menghilangkannya. Perhatian Risk Management lebih pada perawatan yang dapat diterima pasien dibanding perawatan yang optimal yang mana merupakan tujuan dari QA. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah perbedaan antara QA dengan Risk Management :


1. Motivasi dan fokus dari masing-masing tinjauan aktivitas.

2. Perhatian Risk Management adalah pada batas penerimaan si pasien terhadap perawatan yang diberikan, sementara QA adalah pada pemberian perawatan pada level yang optimal.

3. Risk Management ditujukan pada semua orang, kejadian, lingkungan, sementara QA khususnya ditujukan pada perawatan pasien

4. Risk Management memiliki spesialisasi dalam hal jaminan secara legal dan kegiatan pencegahan kerugian lainnya.

5. QA memfasilitasi kegiatan perbaikan dari mutu perawatan melalui berbagai aktivitas yang terkordinir, sementara Risk Management lebih fokus terhadap kegiatan pencegahan kerugian.


Karena banyaknya bentuk pengawasan proses untuk kegiatan Risk Management dan QA yang sama, kedua fungsi tadi sering dianggap sama. Namun perlu diingat bahwa motivasi dan fokus dari keduanya berbeda.


QA dan Performance Appraisal


Tinjauan mengenai Performance Appraisal terfokus pada apa yang dilakukan karyawan. Tinjauan tentang aktivitas ini biasanya menitikberatkan pada :


1. Seberapa baik karyawan dapat memenuhi persyaratan pekerjaannya di perusahaan

2. Seberapa profesional karyawan melaksanakan tugas sesuai dengan jabatannya dalam perusahaan.


Sementara QA lebih terfokus kepada seberapa bagus mutu perawatan dan pelayanan yang yang dihasilkan karyawan (staf medis atau non medis) dan diterima pasien. Contoh nyata yang bisa diambil misalnya : jumlah pelayanan yang telah diberikan seorang pekerja perhari bukan merupakan objek dari tinjauan QA, namun catatan mengenai keterlambatan dalam memberikan pelayanan dan alasan keterlambatannya merupakan tinjauan dari QA.


Demikian penjelasan secara singkat mengenai perbedaan Quality Assurance dengan tinjauan aktivitas lain seperti Riset, Risk Management dan Performance Appraisal. Semoga dapat memberikan pemahaman kepada anda bahwa dalam menerapkan QA, pemahaman yang menyeluruh dan tepat mengenai QA adalah langkah awal yang sangat penting dan harus dimiliki seluruh karyawan. Langkah awal ini akan membuat penerapan menjadi lebih efektif dan mudah bagi seluruh karyawan dan manajemen. (IS)




Ekonomi dunia pada dua ratus tahun yang lalu masih bersifat agraris, ciri dari ekonomi agraris adalah tanah merupakan faktor ekonomi yang paling dominan. Era agraris ini berakhir dengan ditemukannya mesin uap yang menyebabkan terjadinya revolusi industri. Kembali dunia memasuki era baru yaitu era industri, yang menjadi ciri dari era industri ini adalah modal sebagai faktor ekonomi yang paling dominan. Pada akhir abad yang lalu kembali dunia memasuki era yang baru yang biasa disebut era informasi, disini faktor ekonomi yang paling dominan berbasis pada pengetahuan dan berfokus pada informasi, dengan menguasai informasi maka organisasi akan bertahan dan berkembang di era ini.


Sistem Informasi Manajemen merupakan prosedur pemrosesan data berdasarkan teknologi informasi dan diintegrasikan dengan prosedur manual dan prosedur yang lain untuk menghasilkan informasi yang tepat waktu dan efektif untuk mendukung proses pengambilan keputusan manajemen.


Sistem Informasi Manajemen saat ini merupakan sumber daya utama, yang mempunyai nilai strategis dan mempunyai peranan yang sangat penting sebagai daya saing serta kompetensi utama sebuah organisasi dalam menyongsong era Informasi ini.


Di bidang kesehatan terutama Rumah Sakit sangat membutuhan Sistem Informasi Manajemen untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat untuk menyongsong ‘Indonesia Sehat 2010’.


Diposting oleh ICS di 21:32

.

Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit


SIMRS (Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) merupakan solusi komputerisasi sistem informasi manajemen terintegrasi untuk institusi pelayanan medis, yang ditujukan sebagai pengganti administrasi secara manual. SIMRS yang kami bangun adalah Aplikasi Berbasis Web sebagaimana di amanatkan dalam Inpres No. 3/2003 yang menerapkan konsep Open System. Selain itu, SIMRS juga menekan biaya kepemilikan dengan penggunaan sistem basis data dan sistem operasi yang bersifat Open Source dengan lisensi GNU/GPL sehingga aman dari masalah hak cipta. Hal ini sejalan dengan rekomendasi pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama yang ditanda tangani oleh 6 Menteri yaitu; Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara serta Menteri Pendidikan Nasional dalam Deklarasi IGOS (Indonesia Go Open Source) pada tanggal 30 Juni 2004.


Sebagai sebuah sistem yang berbasis web, SIMRS dapat diakses melalui internet dan bisa diimplementasikan secara Online, sehingga pasien/ keluarga pasien, antar rumah sakit dan instansi-instansi terkait lainnya bisa mengakses data dan informasi yang diperlukan kapan saja dan dari mana saja (anytime & anywhere). Dalam pengembangannya, SIMRS ini menggunakan teknologi terkini dalam hal pemrograman, basis data, dan arsitektur sistem. SIMRS didesain sebagai sebuah sistem yang bersifat modular dan dapat dikustomisasi sesuai karakteristik instansi sehingga dapat digunakan untuk berbagai lingkup layanan kesehatan, mulai skala kecil (praktek pribadi), menengah (klinik, puskesmas) hingga skala besar seperti Rumah Sakit.


Aplikasi berbasis web ini menerapkan konsep sentraslisasi sehingga Aplikasi, DataBase dan Sistem Security dipasang secara terpusat di server utama yang bisa di akses oleh semua user dengan tingkatan otorisasi yang telah ditentukan, dari komputer manapun yang terhubung ke jaringan tanpa harus menginstal sofware apapun di sisi client/user.

Berharap Peningkatan Mutu RS Lewat Badan Layanan Umum



Jumat, 21 Oktober, 2005 oleh: gklinis

Berharap Peningkatan Mutu RS Lewat Badan Layanan Umum

Gizi.net - Rumah sakit adalah ujung tombak pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini terutama rumah sakit daerah atau rumah sakit milik pemerintah.


Penyebabnya klasik, yaitu masalah keterbatasan dana. Sehingga rumah sakit (RSUD dan rumah sakit milik pemerintah) tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang rendah.


Menyadari hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Dengan PP ini, maka status rumah sakit kini berubah menjadi BLU.


Sebagai tahap awal, pemerintah menetapkan 13 RS yang statusnya perusahaan jawatan (Perjan) menjadi BLU. Yaitu enam RS di Jakarta (RSCM, RS Fatmawati, RS Persahabatan, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, RS Kanker Dharmais), dan masing-masing satu RS di Bandung (RS Dr Hasan Sadikin), di Semarang (RS Dr Kariadi), di Yogyakarta (RS Dr Sardjito), di Denpasar (RS Sanglah), di Makassar (RS Dr Wahidin Sudirohusodo), di Padang (RS Dr M Djamil), dan RS Dr Mohammad Hoesin di Palembang.


Pelantikan direktur utama BLU rumah sakit tersebut dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari, di Jakarta, pekan lalu. Menurut Menkes, sebelum ditetapkan menjadi BLU, RS yang berstatus Perjan telah diberi kesempatan untuk melewati masa transisi selama enam bulan. Dalam masa tersebut, ada rumah sakit yang tenang-tenang saja. Namun, ada juga yang bergejolak, baik positif maupun negatif.


Keleluasaan

Dengan manajemen BLU, kata Menkes, maka sebuah RS mempunyai keleluasaan dan kelonggaran yang lebih untuk mendayagunakan uang pendapatan. ''Namun, pendapatan tersebut harus dikelola sebaik-baiknya untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi semua pasien. Juga untuk meningkatkan kualitas SDM, mengendalikan tarif pelayanan, mengelola sarana, dan bukannya untuk menumpuk keuntungan,'' katanya.


Menkes melanjutkan, dengan manajemen yang baik, keuntungan yang cukup longgar, kesejahteraan SDM semakin meningkat, serta adanya UU Praktik Kedokteran dan UU Perumahsakitan, maka para dokter akan bekerja lebih baik. ''Sehingga diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap dokter akan semakin meningkat. Dan akhirnya masyarakat akan mantap untuk berobat di negeri sendiri serta tidak perlu lagi ke Singapura atau Malaysia,'' tuturnya.


Senada, Dirjen Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, Farid W Husein, menyatakan, dengan status BLU, maka RS memiliki keleluasaan untuk mengelola keuangannya. Namun, pihaknya akan selalu melakukan pengamatan terhadap kinerja rumah sakit BLU. ''Kehati-hatiannya harus tambah,'' ujarnya.


Kalau sebagai tahap awal, sebanyak 13 RS yang statusnya Perjan telah ditetapkan menjadi RS BLU, di kemudian hari semua RS akan dibawa ke arah sana. Syaratnya RS tersebut harus sehat dalam melaksanakan pekerjaannya. ''Arah BLU adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan RS. Yaitu bagaimana meningkatkan mutu dengan kebebasan keuangan yang dimilikinya,'' kata Farid.


Kebebasan mengelola keuangan ini diakui oleh Direktur Utama BLU RSCM, Dr dr Akmal Taher SpU (K). ''Dengan BLU kami punya cukup otonomi untuk mengelola sumber daya. Jadi, ada keleluasaan,'' katanya.


Direktur Utama BLU RS Sanglah Denpasar, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA, juga mengatakan hal yang sama. ''Mudah-mudahan setelah apa yang dicanangkan, pengelolaan sumber daya lebih bagus lagi dibandingkan pada saat masih sebagai Perjan. Pengelolaan keuangan lebih leluasa. Ini yang kami harapkan. Ke depan pelayanan lebih bagus sehingga pendapatan RS juga lebih bagus,'' ungkapnya.


Penggajian proporsional

Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran UI, Prof Ascobat Gani, dengan adanya aturan soal BLU ini, maka manajemen rumah sakit memiliki keleluasaan dalam mengelola keuangannya. Tidak hanya itu, masalah penggajian karyawan juga bisa diatur secara lebih proporsional.


Sebelum adanya aturan tentang BLU, manajemen pengelolaan keuangan di sebuah rumah sakit sangat ketat. Akibatnya, rumah sakit tidak bisa mengembangkan diri dalam hal keuangan. Yang lebih parah, mutu layanan kepada pasien atau konsumen juga semakin menurun.



''Yang jelas manajemen rumah sakit sekarang lebih luas dalam mengelola keuangannya. Dulu ketat sekali sehingga tidak boleh pinjam uang namun tidak boleh berhenti melayani. Akibatnya mutunya jadi turun,'' katanya pada Lokakarya Nasional Kesiapan Rumah Sakit Daerah (RSUD) Menjadi BLU, yang diselenggarakan Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA), di Jakarta, beberapa waktu lalu.


Menurut Ascobat, aturan yang ada di PP 23 tahun 2005 memangkas aturan-aturan yang ada sebelumnya. Justru yang itu membatasi gerak langkah RS. Dengan BLU, manajemen RS diperbolehkan meminjam uang kepada pihak ketiga untuk menutup biaya operasional. Ini bisa dilakukan jika kondisi keuangan sebuah rumah sakit benar-benar mengkhawatirkan.


Ascobat menyebut aturan di BLU ini sangat revolusioner. Tapi yang lebih penting, dengan menjadi BLU, maka pimpinan RS memiliki hak untuk mengatur penggajian karyawannya. Ini berbeda dengan aturan sebelumnya, yaitu semua karyawan mendapat gaji sama tanpa membedakan prestasi atau hasil kerjanya.


''Dengan BLU pimpinan RS bisa memberikan honor, insetif, atau bonus di luar ketentuan gaji. Dulu kan PGPS alias Pinter Goblok Pembayaran Sama. Nah, dengan BLU sekarang diatur bahwa di luar gaji boleh diberikan honor, insetif, bahkan bonus. Misalnya ketika kinerja keuangan bagus sekali sehingga ada sisa hasil usaha,'' paparnya.





Masyarakat Miskin Tetap Terjamin


Selama ini muncul kekhawatiran di masyarakat terhadap rumah skit (RS) dengan status sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan, biaya kesehatan di RS semakin tak terjangkau oleh masyarakat miskin. Akibatnya, masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkannya.


Menjawab kekhawatiran tersebut, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, meminta kepada direktur rumah sakit BLU untuk benar-benar memperhatikan akses kesehatan bagi masyarakat miskin.


''Saya tidak ingin mendengar lagi adanya rakyat kecil yang terlunta-lunta ketika ingin mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Saya tidak mau mendengar lagi kisah rakyat kecil yang ditolak oleh rumah sakit, terutama rumah sakit pemerintah, dengan alasan apapun juga,'' katanya ketika melantik 13 direktur utama RS BLU dan sejumlah pejabat eselon II Depkes lainnya, di Jakarta, pekan lalu.


Menkes menegaskan, pemerintah saat ini menjalankan program pengobatan gratis untuk rakyat miskin di kelas tiga rumah sakit dengan mekanisme asuransi kesehatan yang dikelola PT Askes. Karena itu, Menkes mengingatkan, agar jangan sampai ada masyarakat miskin yang tidak memiliki kartu Askeskin ditolak di rumah sakit.


''Saya tekankan, adakanlah satu atau lebih petugas untuk mengurus kartu Askeskin bagi orang miskin yang belum mempunyai kartu. Jadi, tidak ada lagi alasan rumah sakit nombok karena merawat orang miskin. Sebab hal itu bisa diselesaikan dengan PT Askes,'' kata Menkes menegaskan.


Direktur Utama BLU RS Sanglah Denpasar, dr I Gusti Lanang M Rudiartha MHA, kepada Republika, mengatakan dengan status BLU, rakyat miskin tetap akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.


"Masyarakat miskin sangat terbuka dengan adanya pembiayaan dari Askes miskin. Yang jelas, dengan status BLU maka sisi manajemen, pelayanan, dan sebagainya harus sudah jelas arahnya," ujarnya. ( jar )


Sumber: Republika Online - Selasa, 18 Oktober 2005

Menko Kesra: Rumah Sakit Boleh Mahal, Asal Warga Miskin Boleh Gratis Berabot!


Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat (Kesra), Aburizal Bakrie, mengatakan, biaya rumah sakit boleh mahal asalkan warga miskin bisa mendapat pelayanan secara gratis.


"Saya sudah berkunjung ke rumah sakit itu dan ketika saya tanya bagaimana nasibnya warga miskin, manajemen rumah sakit mengatakan orang miskin mendapat pelayanan gratis. Berarti tidak masalah," kata Aburizal, di Kupang, Rabu.


Terhitung 1 Januari 2007, manajemen RSUD Prof. W.Z. Johannes Kupang, satu-satunya rumah sakit milik pemerintah di Kota Kupang, ibukota Provinsi NTT akan memberlakukan tarif baru sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor: 4 tahun 2006 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan.


Tarif baru pelayanan kesehatan rawat jalan di RSUD Kupang sesuai Perda 4/2006 sebesar Rp 17.500/pasien. Terjadi peningkatan Rp12.500 dari tarif lama Rp 5.000/pasien sesuai Perda Nomor 7 Tahun 2000. Tarif baru itu lebih mahal dari dua rumah sakit swasta di Kupang yakni Rumah Sakit Tentara (RST) dan Rumah Sakit Bhayangkara (RSB) hanya Rp 15.000/pasien. Bahkan rumah Sakit Tabanan Bali hanya Rp 8.500 dan Rumah Sakit Kepanjen Malang hanya Rp 10.500/pasien rawat jalan.


Demikian pula, biaya rawat inap yang juga lebih mahal dari RSB Kupang. Perawatan Klas III di RSUD Prof W.Z. Johannes Kupang berkisar antara Rp 50.000 hingga Rp 65.000, sementara RSB Kupang hanya Rp 35.000 dan RS Tabanan hanya Rp 27.000.


Biaya rawat inap Klas II dan I pun jauh lebih mahal dari rumah sakit swasta di Kupang dan dua rumah sakit diluar NTT sebagai pembanding. Biaya rawat inap Klas II di RSUD Kupang sebesar Rp 110.000, RSB Rp 55.000 dan RST Rp 102.000. RS Tabanan Rp 36.000 dan RS Kepanjen Rp 70.000. Klas I di RSUD Kupang sebesar Rp 190.000, di RSB hanya Rp 90.000 dan RST Rp 122.500, RS Tabanan Rp 54.000 dan RS Kepanjen Rp 115.000.


Biaya rawat inap Klas Paviliun yang mencapai Rp 345.000 di RSUD Kupang, sementara di RSB hanya Rp 175.000, RST Rp 170.000, RS Tabanan Rp 100.000 dan RS Kepanjen Rp 260.000. Aburizal mengatakan, Departemen Kesehatan sudah mengingatkan manajemen rumah sakit di berbagai daerah di Indonesia agar tidak membebani warga miskin.


"Kalau manajemen RSUD Prof. W.Z. Johannes menaikan tarif dan dianggap mahal tidak menjadi persoalan sepajang pasien dari keluarga miskin tidak pungut biaya. Saya sudah tegaskan hal ini saat berdiskusi dengan direktur rumah sakit itu," ujarnya.


Ia mengatakan, warga miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah dapat menggunakan kartu askes miskin (askeskin) agar tidak dibebankan biaya perawatan. "Karena itu, pemerintah daerah berkewajiban memberikan kartu askeskin kepada warga miskin agar dimanfaatkan sesuai peruntukkannya," ujarnya.[bbs/an/hep]

Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit: sekedar persyaratan menuju BLU atau dapat meningkatkan kinerja?

Diselenggarakan oleh:

Departemen Kesehatan RI dan Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK-UGM

(course director: Hanevi Djasri)

Pendahuluan

UU BLU sudah menegaskan bahwa RS pemerintah merupakan lembaga non-for-profit yang memberikan pelayanan yang efisien dan efektif, hal ini berarti bahwa praktek-praktek manajemen yang tidak efisien dan efektif harus ditinggalkan dan mulai fokus pada profesionalisme SDM.

Dengan diterbitkannya PP no. 23 tahun 2005 yang mengatur masalah pengelolaan keuangan BLU, mulai ada titik terang untuk mulai membenahi manajemen RS sesuai dengan aturan dan persyaratan yang berlaku. Secara explisit ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah BLU, antara lain adanya standar pelayanan minimum (SPM) di RS.

Berbagai acuan dapat digunakan untuk menyusun SPM di RS, antara lain mengikuti bentuk SPM bidang kesehatan yang memiliki indikator kinerja yang sangat rinci dan mencakup seluruh aspek (47 indikator wajib dan 7 indikator sesuai kebutuhan) seperti SK Menkes No 1457/ 2003, atau mengikuti Kepmenkes No 228/2002, tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal RS yang mencakup standar penyelenggaraan pelayanan manajemen rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan.

Berbagai RS telah mencoba menyusun SPM-nya melalui berbagai pendekatan yang berbeda, sehingga SPM yang diajukan juga berbeda dan memang hal ini dimungkinkan sesuai dengan pasal 8 PP 23 yang mengatakan bahwa ?Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU?.

Namun kemudian timbul pertanyaan, apakah SPM hanya akan berakhir menjadi sekedar memenuhi persyaratan BLU atau memang benar-benar dapat menjadi faktor pendorong peningkatan kinerja RS?

Tujuan

1. Memahami pengertian berbagai pihak tentang SPM di RS

2. Berbagi pengalaman dalam menyusun SPM di RS

3. Mendiskusikan apa yang harus dilakukan untuk membuat SPM di RS dapat berperan sebagai faktor pendorong peningkatan kinerja RS

Materi dan agenda seminar

Jam

Materi

Pembicara

09:00-09:30

Pembukaan dan pengantar seminar

Laksono Trisnantoro

PMPK FK-UGM

09:30-10:15

Standar Pelayanan Minimal: pengertian dan manfaatnya dari sudut pandang regulator/pemerintah

dr. Ratna Rosita MPHM

Depkes RI

10:15-10:30

Diskusi

Moderator: Hanevi

10:30-11:00

Coffe Break

11:00-11:45

Standar Pelayanan Minimal RS: pengertian dan proses penyusunannya di RSUD Zaenal Abidin

Dr. Rindang Indayani, MKes

RSU Zainal Abidin, Banda Aceh

11:45-12:30

Standar Pelayanan Minimal RS: pengertian dan proses penyusunannya di RSUP Dokter Kariadi

drg. Farichah Hanum, MKes

RS Dokter Kariadi, Semarang

12:30-13:00

Diskusi

Moderator: Hanevi

13:00-14:00

Break makan siang

14:00-14:45

Menggunakan SPM untuk meningkatkan kinerja RS

Tjahjono Kuntjoro

PMPK FK-UGM

14:45-15:00

Diskusi

Moderator: Hanevi

Peserta yang diharapkan hadir

Pejabat dan Staf Departemen Kesehatan

Kepala Dinas Kesehatan dan staf

Direktur RS pemerintah dan staf

Akademisi, konsultan, dan pemerhati mutu pelayanan kesehatan

Tanggal dan tempat pelaksanaan

Tanggal : Rabu, 15 Februari 2006

Tempat : Ruang pertemun MMR UGM, Gedung Granadi, Kuningan, Jakarta

Biaya

Rp. 300.000,-

Sdri Ega

PMPK FK UGM

Gd. IKM baru Lt. 2 Sayap Utara

Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta

Telp (0274) 549424-549425

Fax (0274) 547487

email : [EMAIL PROTECTED]

atau

Sdri. Rina/Rekha

MMR UGM Jakarta

Gd. Granadi (Depan Depkes RI Kuningan)

Jl. HR Rasuna Said Blok X-1, Kav 8 9

Jakarta Selatan

Telp/Fax (021) 021-252 2754 ext. 1241

email : [EMAIL PROTECTED]


Yahoo! Mail - Helps protect you from nasty viruses.


Archives terdapat di http://www.yahoogroups.com/group/desentralisasi-kesehatan

Situs web terkait http://www.desentralisasi-kesehatan.net






YAHOO! GROUPS LINKS


* Visit your group "desentralisasi-kesehatan" on the web.

* To unsubscribe from this group, send an email to:

[EMAIL PROTECTED]

* Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.


Mempertanyakan Pemihakan Rumah Sakit

30 January 2007

Acapkali kita disajikan berita tentang kasus malapraktik yang melibatkan tenaga kesehatan, terutama dilakukan oleh dokter, yang terjadi di berbagai rumah sakit belakangan ini. Tidak sedikit masyarakat mengeluhkan buruknya pelayanan dan manajemen rumah sakit tempatnya dirawat. Hampir semua lini pelayanan tak luput dari terjangan ketidakpuasan masyarakat, mulai dari penerimaan pertama pasien di Unit Gawat Darurat atau Poliklinik umum, pelayanan dokter dan asuhan perawatan, hingga pada masalah penebusan biaya selama perawatan dan pelayanan pasien di rumah sakit. Inilah realitas rumah sakit kita.

Belitan dana dan relatif longgarnya pengawasan terhadap operasionalisasi rumah sakit di Indonesia, menyebabkan orientasi sebagian besar RS hanya mencari keuntungan (laba) dari pasiennya. Kualitas pelayanan, tak dapat dipungkiri, berbanding lurus dengan biaya yang mesti dirogoh dari saku si sakit.


Orientasi sosial rumah sakit menjadi sulit ditemukan di tengah kompetisi ketat antar provider (penyedia) pelayanan kesehatan saat ini.



Munculnya klinik-klinik swasta menjadi salah satu pemicu meredupnya praktik perumahsakitan yang benar-benar berorientasi “menyembuhkan” pasiennya. Karena faktor dana, sering kita jumpai orang yang sakit terpaksa pulang sebelum benar-benar sembuh, atau rumah sakit tidak sanggup lagi menutupi kekurangan biaya perawatannya.


Sedikit positif perkembangan yang ditunjukkan oleh hadirnya program Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Askes Gakin) beberapa waktu terakhir. Banyak keluarga miskin yang menderita sakit, merasa sangat terbantu dengan adanya Askes Gakin ini. Namun pada sisi lain, tidak bisa dipungkiri pula, masih terlalu banyak warga miskin lainnya yang sedang sakit, tetapi tidak memiliki akses untuk memiliki kartu peserta Askes Gakin. Cakupan program ini masih sangat terbatas, belum menyentuh semua lapisan masyarakat.



Belum berbicara kualitas pelayanan. Banyak rumah sakit hanya dilengkapi dengan peralatan medik terbatas dengan fasilitas laboratorium yang minim. Terkadang pasien harus antri berlama-lama untuk menerima pelayanan di poliklinik RS akibat sedikitnya jumlah dokter yang bertugas. Selain itu, RS kita juga kerap masih bergelut pada “mental model” paramedik yang jauh dari harapan pasien. Sikap yang ramah dan murah senyum, ikhlas membantu pasien serta komunikasi yang melegakan, masih merupakan barang langka dijumpai.


Pada sebagian RS milik pemerintah, untuk pelayanan rawat inap, pasien dan pembesuk harus rela menikmati lingkungan RS yang kotor dan nampak tidak terawat. Sampah di sana-sini tersebar dikerubungi lalat dan tikus. Fasilitas tambahan seperti air bersih dan kamar mandi kerap sangat terbatas dan cenderung tidak diperhatikan serius kebersihan dan kesehatannya. Melihat fenomena seperti ini bagaikan kita tidak berada dalam sebuah rumah sakit saja, karena sesungguhnya RS harus dapat memperlihatkan dan mengajarkan budaya hidup bersih dan sehat kepada setiap orang yang berada di dalamnya.


Pelayanan Pasien


Rumah sakit didirikan sebagai sentral pelayanan kesehatan �"terutama kuratif dan rehabilitatif�" bagi masyarakat disekitarnya. Paradigma yang dikembangkan dalam tradisi seni pengobatan menjadi karakteristik khas yang seharusnya ada pada setiap aktivitas RS. Pasien adalah manusia yang setara kedudukannya secara fitrawi dengan dokter dan paramedik lain, sehingga relasi yang terbangun antar mereka mestinya bersifat humanis, bukan eksploitatif. Dalam konteks relasi dokter-pasien ini, berbagai ketimpangan dan ketidakpuasan selalu muncul dan dirasakan oleh kedua belah pihak.


Idealnya, dalam harapan banyak orang, ketika masuk RS kita akan mendapat pengobatan dan perawatan yang baik sehingga dapat segera sembuh dan sehat kembali. Jika pengobatan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya tidak menunjukkan hasil memuaskan, maka pasien �" dalam keawamannya �" sering berpikir bahwa pelayanan RS tersebut tidak bagus. Kondisi negatif seperti ini semakin mudah tersulut jika “kesan pertama” yang ditunjukkan oleh pihak manajemen RS tidak berkenan di hati pasien yang baru masuk. Padahal, yang diharapkan selain kesembuhan pasien pada aktivitas di RS adalah kepuasan (satisfaction) yang dirasakan oleh semua pihak selama proses pengobatan dan perawatan berlangsung.


Dalam tradisi pengobatan, relasi dokter-pasien mesti memungkinkan terjadinya komunikasi manusiawi yang memberikan kesempatan kepada pasien agar lebih merdeka dan leluasa mengungkapkan perjalanan penyakitnya. Hal ini sangat dibutuhkan oleh seorang dokter agar dapat mendiagnosa penyakit yang diderita pasiennya. Komunikasi pasien-dokter hanya dapat berlangsung positif jika kondisi psiologis pasien benar-benar merasa “nyaman”. Nah, kenyamanan ketika masuk RS inilah yang menjadi permasalahan saat ini.


Pada sisi lain, bagi sebagian orang, masuk RS itu menjadi pilihan terakhir jika penyakit yang diderita sudah tidak bisa ditahan lagi. Mereka beranggapan akan sangat beresiko cepat-cepat masuk RS. Selain karena biaya yang cukup mahal, juga rentan dengan resiko terjadinya infeksi nosokomial (penularan penyakit dari RS terhadap orang-orang yang beraktivitas di dalamnya). Asumsi ini semakin diperparah jika masyarakat pernah trauma atau mengalami pengalaman “tidak mengenakkan” atas pelayanan dokter atau paramedik yang bertugas di RS tersebut. Banyak orang masuk RS ketika penyakitnya sudah sangat parah. Akibatnya penyakit pasien sulit disembuhkan dan tentunya biaya pengobatan/perawatan juga ikut membengkak.


Dalam berbagai peraturan yang menjelaskan hubungan pengobatan, hak-hak pasien dan hak-hak dokter/paramedik relatif cukup jelas dan mudah dimengerti. Hanya saja, pasien atau keluarga pasien yang masuk di RS cenderung tidak memperhatikan hal ini atau memang tidak tahu sama sekali. Untuk menyikapi hal ini, maka pihak RS melalui dokter/paramedik yang merawat pasien mestinya memberikan penjelasan dan penyadaran kepada pasien-pasiennya, terutama menyangkut hak mereka atas informasi pra pengobatan dari dokter(informed concent) dan kerahasiaan penyakit yang mereka derita.


Kenyataannya, meskipun UU Praktik Kedokteran telah diterapkan, berbagai indikasi pelanggaran atas hak pasien masih juga mencuat ke permukaan. Artinya, pihak RS, termasuk dokter dan paramedik yang bekerja di dalamnya, harus menyadari bahwa saat ini masyarakat kita perlahan semakin sadar atas hak mereka mendapatkan “pengobatan yang benar”. Karenanya, otoritas RS mesti giat memperbaiki pelayanan dan “keramahan”-nya terhadap pasien-pasien mereka.


Pemihakan RS


Tak bisa dinafikkan eksistensi sebuah RS sangat dipengaruhi oleh sejauh mana menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya. Tidak dibenarkan jika RS hanya mengejar keuntungan semata tanpa memperhatikan aspek sosial keberadaanya di masyarakat. Proporsi 30% tempat tidur untuk kelas III di setiap RS di negara ini pada prinsipnya relatif masih jauh dari memadai. Pun jumlah tersebut tidak akan menguras kas RS dalam-dalam, karena sebagian RS saat ini telah bekerja sama dengan pihak PT Askes untuk pelayanan JPS/Askes Gakin.


Aspek sosial RS sesungguhnya belum lunas terbayar hanya dengan menyediakan tempat tidur kelas III untuk pasien miskin, tetapi mesti diikuti dengan “kesungguhan” dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tidak diskriminatif. Selain itu, pemerintah mesti menegaskan konsekuensi pendirian RS agar selalu harus siap menerima masuknya pasien-pasien gawat darurat yang “tidak mampu” meskipun tidak dilengkapi dokumen miskin dari pemerintah.


Pelayanan medik di RS mestinya dilakukan dengan tidak ada perbedaan antar pasien kelas III dengan pasien kelas “tinggi” lainnya, seperti VVIP, VIP dan Kelas I. Yang seharusnya membedakan antara kelas III dengan kelas “tinggi” lainnya hanyalah faktor fasilitas tambahan dalam ruang perawatan, seperti lemari pendingin, air conditioner, televisi dan kursi-meja tamu. Dengan demikian, maka “nuansa manusiawi” dalam pelayanan pasien benar-benar dapat dirasakan oleh mereka yang, sesungguhnya tidak pernah menghendaki jatuh sakit hingga diopname di RS.


Kita mengharapkan RS yang belum mencapai “level humanis” seperti yang kita harapkan di atas, dapat segera membenahi manajemen dan menegaskan pemihakannya atas pelayanan yang tidak diskriminitif terhadap semua pasiennya. Kecuali itu, RS juga mesti secara proporsional menegakkan aspek sosial pengobatan, ketimbang aspek bisnis kapitalisnya, dengan mengutamakan pelayanan di atas urusan pembayaran uang muka.


Posted by Admin || 4:37 AM

Tidak ada komentar: